Sebagai lanjutan dari seri belajar dari para ahli, maka saya kutip kembali apa yang ada pada kontan online , selamat membaca, semoga bermanfaat ---
Risiko di hotel lebih kecil daripada properti lain
Oleh Billy Dahlan - Selasa, 05 Maret 2013
Berangkat dari perusahaan properti lokal asal Semarang, Dafam
Group mulai menjelma menjadi entitas bisnis multibidang berkelas
nasional. Billy Dahlan, CEO Dafam
, terus
mengayunkan langkah-langkah ekspansi. Berikut penuturan pria berusia 28
tahun tersebut mengenai strategi dan rencana bisnisnya, kepada wartawan
Mingguan KONTAN, Tri Sulistiowati dan Edy Can, di Jakarta, Rabu (20/2)
lalu.
Setelah lulus kuliah tahun 2006 di Inggris, saya memutuskan pulang ke
Pekalongan, Jawa Tengah, untuk membantu orangtua berbisnis sarang
burung walet. Dari situ, saya belajar dasar-dasar bisnis selama enam
bulan.
Namun, sebenarnya mimpi saya adalah mempunyai gedung tinggi. Saya
menyukai desain dan arsitektur, dan suka membaca buku desain. Nah,
ketika itu Dafam belum berbisnis properti.
Tahun 2009, saya bertemu dengan Andhy Irawan (
Managing Director
Dafam saat ini), yang bekerja di Hotel Santika. Kami banyak mengobrol
soal manajemen perhotelan dan finansial. Dari percakapan itulah muncul
rencana membangun bisnis hotel.
Saya membuka hotel pertama di Semarang, Jawa Tengah. Awalnya, gedung
itu adalah mal yang sudah bangkrut, kemudian saya ambil alih untuk
direnovasi menjadi hotel.
Sekitar setahun kemudian, saya membuka hotel yang kedua. Dari dua
hotel ini, saya bermimpi menambah hotel lebih banyak lagi. Demi
mewujudkan impian itu, saya menarik Andhy, yang semula sebatas sebagai
konsultan, untuk membantu mengembangkan usaha Dafam ke sektor properti.
Maklum, mulanya Dafam adalah perusahaan umum.
Setelah itu, jaringan hotel Dafam terus bertambah di beberapa kota di
daerah Jawa, seperti Cilacap, Pekalongan, Semarang, Bandung, dan
Yogyakarta. Memang, kebanyakan hotel itu merupakan bangunan atau hotel
lama yang kemudian kami renovasi. Pertimbangannya, lokasi bangunan
tersebut strategis.
Merenovasi bangunan yang sudah jadi terkadang biayanya jauh lebih
besar, namun jika lokasinya bagus, ya kami mengambil bangunan tersebut.
Saat hotel benar-benar sudah diambil alih, langkah pertama yang dilakukan adalah
review dan pendataan. Lantas, kami membandingkan hasilnya dengan data pada
database perusahaan itu. Bila, menemukan hal yang tak sesuai dengan
database kami, maka kami akan melakukan penggantian.
Hingga kini kami mengoperasikan sembilan hotel dan masih ada 30 hotel
lagi yang sedang dalam proses. Harapannya, semua hotel sudah bisa
beroperasi pada akhir tahun ini.
Salah satu target kami adalah membangun sebuah hotel di Jakarta.
Sayang, hingga saat ini target itu belum tercapai karena kami belum
menemukan lahan yang cocok.
Saya memilih bisnis properti perhotelan karena menganggap risikonya
lebih kecil ketimbang sektor properti lain. Dari sisi likuiditas, selalu
ada uang yang masuk dalam bisnis ini karena setiap hari ada yang
menyewa kamar. Sementara untuk bisnis properti lain, seperti perumahan
dan apartemen, dana bisa mengendap lantaran tidak ada unit yang terjual
atau disewa.
Saat memulai bisnis hotel, saya meminjam dana dari bank sebesar Rp 40
miliar. Setahun kemudian saya sudah bisa mengembalikan pinjaman itu dan
kembali mengajukan tambahan kredit Rp 10 miliar.
Ketika memulai bisnis itu, banyak orang yang meragukan karena umur
saya masih 25 tahun dan sejarah keluarga saya yang tidak pernah
mengajukan kredit kepada bank. Tapi, saya tidak pernah pedulikan itu,
karena punya niat dan ingin membuktikan keberhasilan.
Bukan sekadar manajemen hotel
Setelah berhasil membuka hotel pertama sampai keempat, perusahaan
memutuskan untuk memperluas bisnis jadi operator. Langkah ini muncul
karena permintaan relasi untuk mengoperasikan hotel mereka.
Maka, saya membentuk satu tim korporat yang bertugas mengelola dan
menawarkan jasa pengelolaan hotel. Satu tim berjumlah sekitar 20 hingga
30 orang, yang mengurusi lima hotel sehingga bisa memperhatikan semua
hotel yang dikelola.
Dengan jumlah itu, saya berharap semua hotel yang dikelola Dafam bisa
diperhatikan secara baik. Bila ada masalah di salah satu unit, bisa
diselesaikan dalam waktu 24 jam.
Sebagai pemain baru pengelola hotel, Dafam memberikan benefit lain
sehingga bukan sekadar mengurusi manajemen hotel. Kami memberikan
layanan tambahan seperti bantuan dana pembangunan gedung saat masa
konstruksi.
Selama ini, ada beberapa pemilik hotel yang kekurangan dana di
tengah-tengah masa konstruksi. Kalau memang tidak dari Dafam, kami juga
membantu memberikan akses pemilik hotel ke perbankan.
Dafam juga membuka layanan konsultasi selama masa konstruksi.
Konsultasi ini diberikan supaya pemilik hotel bisa memperoleh
barang-barang dengan harga yang lebih terjangkau. Prinsipnya, kami
membantu pemilik hotel sejak awal masa konstruksi.
Kami tidak menyimpan rahasia apa pun. Apa yang ada, kami kasih semuanya kepada investor.
Tak cuma itu, kami menawarkan bantuan pengurusan izin, merencanakan harga, proses pembiayaan, tender dan
feasibility study-nya.
Kami juga rutin menyelenggarakan pelatihan karyawan untuk meningkatkan
pelayanan hotel. Inilah yang membedakan Dafam dengan operator hotel
lain.
Setelah hotel berdiri, kami ikut aktif memasarkan hotel, termasuk mengenalkan
brand Dafam ke masyarakat luas. Selama ini,
brand
Dafam memang belum terlalu dikenal. Dafam itu berasal dari singkatan
Dahlan Family. Dahlan merupakan nama keluarga saya. Awalnya, saya sempat
ingin memakai nama barat. Namun tidak jadi, karena saya berpikir
brand itu awalnya memang terdengar asing. Jadi, tidak apa-apa.
Untuk mengenalkan
brand Dafam, saya sudah bekerja sama dengan Bank Bukopin melalui pembuatan kartu keanggotaan (
business card).
Dengan kartu ini, pelanggan bisa menikmati diskon dan fasilitas
tambahan di seluruh jaringan hotel Dafam. Manfaat bagi kami, pada kartu
itu tercetak logo Dafam Group.
Untuk memperluas jangkauan pemasaran, kami akan membuka kantor di
Jakarta karena potensi investornya besar. Kami sedang merenovasi kantor
di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, yang akan menjadi pusat pemasaran
proyek Dafam di kawasan Indonesia bagian barat. Sedangkan kantor di
Semarang akan menjadi kantor pemasaran bagi proyek-proyek di Indonesia
bagian timur.
Dalam dua tahun mendatang, saya berharap kantor pusat Dafam di
Semarang bisa pindah ke Jakarta. Sebab, ada orang yang bilang,
perusahaan belum berskala nasional bila belum berkantor di Jakarta.
Tapi, yang lebih utama, karena potensi bisnis di Jakarta lebih besar
ketimbang di daerah.
Dalam jangka panjang, saya berencana membawa Dafam untuk merambah
bisnis lain, tapi masih berkaitan dengan tanah seperti pertanian dan
pertambangan. Wilayah Indonesia sangat luas dan belum tergarap semua.
Setelah itu, mungkin Dafam masuk ke sektor
consumer market.
Rencana-rencana itu baru akan terwujud dalam waktu lama karena
membutuhkan modal besar. Saat ini, modal itu belum cukup karena
likuiditas bisnis hotel adalah jangka panjang. Itu kesalahan saya.
Karena itu, mulai tahun lalu, kami menyeimbangkan likuiditas dengan
merambah sektor properti di luar hotel.
Kami menggarap properti perumahan, kondotel dan
office tower. Total ada enam proyek yang kami kerjakan tahun ini, di antaranya di Bali.