Selasa, 12 Maret 2013

Risiko dalam Falsafah Minangkabau

Membahas persoalan risiko (risk) dalam falsafah adat Minangkabau, adalah hal yang sangat relevan. Terlebih alam Minangkabau (yang secara geografis adalah Sumatera Barat) , paling tidak untuk saat ini, merupakan wilayah yang PALING berisiko terhadap peril gempa bumi/earthquake dan tsunami.

Tetapi bukan itu saja yang menjadi alasan bagi saya memposting tulisan ini, kekayaan falsafah adatnyalah -- yang dapat kita telusuri (diantaranya) melalui petatah/petitih yang dapat juga berupa pantun , permainan rakyat, atau wujud fisik bangunan-- yang  membuat saya merasa perlu share kepada pembaca sekalian.

1. Budaya Minangkabau dikenal dengan petatah/petitih adatnya yang bukan saja unik namun memiliki kata kias dan makna yang dalam. Menyebut diantara petatah/petitih tersebut yang menunjukkan bahwa Minangkabau aware dengan risiko , adalah : INGEK INGEK NAN DIATEH , DIBAWAH KOK NAN MAIMPOK (artinya : Ingat Ingat Yang Diatas, Dari Bawah Mungkin Akan Menimpa). Secara harfiah, kita akan memaknai kalimat diatas sebagai kalimat yang tidak konsisten, "masa' ada dari bawah yang akan menimpa?!". Tetapi itulah kayanya Minangkabau, dengan mendengar kalimat diatas, maka makna yang harusnya dipahami adalah ; (a) Kita mesti waspada akan segala sesuatu, baik yang datangnya dari atas maupun dari bawah (termasuk dari sebelah kiri atau kanan) , (b) Ketika kita fokus akan risiko dari satu bagian (atas), jangan sampai terlengahkan oleh bagian lain yang mungkin akan menimpa (bawah) , (c) Even/peril (peristiwa yang jika terjadi akan merugikan tersebut)dapat saja berupa susuatu yang TIDAK BIASA. Ketika kita berpikir bahwa bagian atas lah yang menimpa, dan pada bagian bawah , kita akan jatuh/terperosok, maka bisa saja dari bagian bawah itu yang menimpa.

Artinya kita mesti waspada untuk hal yang sangat kecil kemungkinan sekalipun. Jangan terlena !

Filosofi untuk peduli akan risiko lainnya adalah dalam pantun  ; BAKATO BAPIKIA DULU, INGEK INGEK SABALUN KANAI, SAMANTANG AWAK ALAH TAHU, ILMU PADILAH NAN DIPAKAI
[Berkata mestilah dipikirkan terlebih dahulu, ingat/waspada sebelum "kena" , biar pun telah tahu, pakai ilmu padi akan lebih baik]

Para leluhur Minang telah mengingatkan kita untuk tidak asal bicara/komentar, karena sebagaimana kita tahu "mulutmu adalah harimaumu" -- banyak risiko yang akan menimpa seseorang jika tidak mampu mengendalikan perkataannya. Untuk itu setiap ucapan mestilah dipikir terlebih dahulu.

Kewaspadaan mesti dipasang sebelum menyesal. Banyak individu/perusahaan yang gegabah dalam meng-eksekusi sesuatu tanpa melakukan analisa terlebih dahulu.
Kalimat memakai ilmu meski pun telah tahu/pandai, menunjukkan orang Minang untuk tetap membuka diri akan perkembangan/perkembangan terbaru, tanpa harus merasa sombong.

2. Falsafah berikutnya yang kita bahas sebagai representasi bahwa risiko telah dipahami oleh masyarakat Minangkabau adalah melalui permainan rakyat, layang-layang. Di Minangkabau (dan juga daerah lain), bermain layang-layang bukanlah sekedar kesenangan. Tetapi bermain sambil belajar mengendalikan peril "angin" yang dapat mengakibatkan risiko putusnya layang-layang.

Pada bagian mananya falsafah bermain layang-layang di Minangkabau yang mengajarkan "cara pengendalian risiko" ? Ada 3 (tiga) hal yang paling tidak menunjukkan kearifan orang Minang :

a. Saat bermain layang-layang, tetua Minang mengatakan, meskipun angin sedang bersahabat, layang-layang melenggok indah di udara, jangan sampai menghabiskan benang di gulungan benang. Hal ini berarti, jangan terlena, karena risiko dapat datang KAPAN saja !
Saat tiba-tiba angin keras datang, maka kita masih punya benang  yang dapat diulur. Artinya, perlu waspada dan punya cadangan untuk menghadapi KETIDAKPASTIAN (uncertainty)

b.Saat bermain layang-layang, tetua Minang mengatakan, 'jika angin kencang, jangan menarik benang..tetapi ulurlah " . Hal ini berarti saat persoalan yang datang sedemikian kerasnya, negosiasi sedemikian alot, maka DON'T FIGHT FIRE WITH FIRE , jangan di lawan keras dengan keras. Tetapi cobalah bersikap tenang, tidak panik. Insya Allah persoalan akan dapat diselesaikan.
Begitulah risiko bisnis , kita mesti mampu bermain tenang dalam persaingan yang sedemikian tajam. Mundur selangkah untuk maju beberapa langkah adalah sebuah kearifan.

c. Saat angin pelan, maka layang-layang mesti di tarik dan bukannya mengulur benang. ketika usaha sepertinya TANPA persoalan, maka saat itulah perlu evaluasi . Dalam mengendalikan risiko juga demikian, kita perlu mengambil sikap tegas saat ada aset (baca SDM) perusahaan yang sepertinya "terlena" dengan kondisi tenang. Jangan mengulur-ulur waktu, lakukan tindakan segera. Kalau tidak peluang terjadinya hal yang merugikan tersebut akan semakin besar (probability)


3. Terkait dengan wujud fisik bangunan Rumah Gadang. Rumah Bagonjong dengan bentuk yang tidak umum, tetapi seperti mengecil kebawah. Tetapi disitulah kearifannya. Dengan kondisi alam yang rawan gempa, maka dengan bentuk bangun seperti itu dan seolah mengantung diatas batu landasan, maka ketika terjadi gempa , maka Rumah Gadang akan mengayun mengikuti gempa, tanpa mengalami kerusakan nantinya. Karena pasak-pasak yang ada pada Rumah Gadang tidaklah dipaku, tetapi dengan kayu yang didesain sedemikian rupa sehingga mampu meredam gempa.
Termasuk untuk peril angin, dimana dindingnya yang melebar bagian atas akan menahan dan mengalirkannya kebawah (lewat bentuk yang solah-olah mengecil ke bawah tersebut)
Keunikan rumah gadang tersebut menunjukkan Minangkabau sangat aware terhadap risiko.



Wallahu'alaam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar